TUNAGRAHITA
Tugas Makalah
KELOMPOK 4
IRMA
NURJANNAH IDRIS (1531040104)
AHMAD GIFARI
HAMZAH (1531040060)
IQRAMULLAH
SUKIMAN (1531040066)
ANNA
ZULTANIAH (1531040071)
ABD. AZIZ
(1531040073)
MUHAMMAD
IKHSYAM (1531040081)
MUSTAKIM (1531040086)
A. AL AZIR
MULKI (1531040091)
SUDIRMAN
(1531040096)
RAHMAT UMAR
MUSTAFA (1531040102)
PENJASKESREK. B
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam
perkembangan sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability, sering keliru dipahami oleh masyarakat,
bahkan sering terjadi pada para professional dalam bidang pendidikan luar biasa
didalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku tunagrahita yang kadang-kadang
aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi lingkungan seringkali menjadi
bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada didekat mereka. Keanehan
tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat sebagai orang sakit jiwa atau
orang gila. Tunagrahita sesungguhnya bukan orang gila, perilaku aneh dan tidak
lazim itu sebetulnya merupakan manifestasi dari kesulitan meraka didalam
menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat kecerdasan. Dalam pengertian lain
terdapat kesenjangan yang signifikan antara kemampuan berfikir dengan
perkembangan usia.
Keterbelakangan
mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasa dihubungkan dengan
tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti menjelaskan kondisi
anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan
intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Kemampuan adaptif seseorang tidak
selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan
lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian anak tunagrahita?
2.
Bagaimanakah klasifikasi anak tunagrahita?
3.
Bagaimanakah etiologi anak tunagrahita?
4.
Bagaimanakah dampak ketunagrahitaan?
5.
Bagaimanakah kemampuan bahasa dan bicara anak
tunagrahita?
6.
Bagaimanakah penyesuaiana sosial anak tunagrahita?
7.
Bagaimanakah modifikasi tingkahlaku anak tunagrahita?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian anak tunagrahita.
2.
Untuk mengetahui klasifikasi anak tunagrahita.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana etiologi anak tunagrahita.
4.
Untuk mengetahui
bagaimana dampak ketunagrahitaan.
5.
Untuk mengetahui
bagaimana kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita.
6.
Untuk mengetahui
bagaimana penyesuaiana sosial anak tunagrahita.
7.
Untuk mengetahui
bagaimana modifikasi tingkahlaku anak tunagrahita
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunagrahita
Batasan anak berkelainan mental
subnormal atau tunagrahita, para ahli dalam beberapa referensi mendefinisikan
secara berbeda. Seseorang dikatakan berkelainan mental subnormal atau
tunagrahita jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya
(dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan
bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.
(Bratanata, 1979).
Penafsiran yang salah sering kali
terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan kelainan mental subnormal atau
tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukkan ke
lembaga pendidikan atau perawatan khusus anak diharapkan dapat normal kembali.
Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab anak tunagrahita dalam
jenjang manapun sama sekali tidak ada hubungannya penyakit atau sama dengan
penyakit (Kirk, 1970).
Edgar Doll berpendapat seseorang
dikatakan tunagrahita jika: (1) Secara social tidak cakap, (2) secara mental
dibawah normal, (3) kecerdasanya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, (4)
kematangannya terhambat (Kirk, 1970). Sedangkan menurut The American Assotiation on Mental Deficiency (AAMD), seseorang
dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya secara umum dibawah rata-rata dan
mengalami kesulitan penyesuaian social dalam setiap fase perkembangannya
(Hallahan dan Kauffman, 1986).
Tunagrahita merupakan kondisi yang
kompleks, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan
dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikegorikan sebagai tunagrahita
apabila tidak mempunyai dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang
rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif. Dalam pengertian lain seseorang
baru dapat dikategorikan tunagrahita apabila kedua syarat tadi dipenuhi.
Istilah perilaku adaptif diartikan
sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggungjawab social menurut ukuran
normal social tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya.
Hambatan dalam perilaku adaptif pada tunagrahita dapat dilihat dalam tujuh area
yaitu; (1) terhambat dalam perkembangan keterampilan sensorimotor, (2)
terhambat dalam keterampilan komunikasi, (3) terhambat dalam keterampilan
menolong diri, (4) terhambat dala sosialisasi, (5) terhambat dalam
mengaplikasikan keterampilan akedemik dalam kehidupan sehari-hari, (6)
terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat dan (7) terhambat dalam
menialai keterampilan sosial. Aspek 1 sampai dengan 4 dapat diobservasi pada
masa bayi dan kanak-kanak, sementara aspek 5 sampai dengan 7 dapat diobservasi
pada masa remaja
B. Klasifikasi
Anak Tunagrahita
Berbagai cara digunakan para ahli
dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Berikut diuraikan klasifikasi
menurut berbagai tinjauan profesi. Seorang dokter dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid,
microcephalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang pekerja social dalam
mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan
penyesuaian diri atau ketidakketergantungan kepada orang lain. Seorang psikolog
dalam mengklisifikasi anak tunagrahita mengarah kepada aspek indeks mental
intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka tes kecerdasan, seperti IQ
0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75
kategori debil atau moron. Seorang
pedagog dalam mengklasifikasi anak tunagrahita didasarkan pada penilaian
program pendidikan yang disajikan pada anak, dari penilaian tersebut dapat
dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu
latih, dan anak tunagrahita mampu rawat.
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak
mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan
yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik anatara
lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung; (2) menyesuaikan diri dan
tidak menggantungkan diri kepada orang lain; (3) keterampilan yang sederhana
untuk kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu
didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam
bidang-bidang akademis, social, dan pekerjaan.
Anak tunagrahita mampu latih
(imbecil) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya
sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak
tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita
mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu (1) belajar mengurus diri sendiri,
misalnya; makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri, (2) belajar menyesuaikan
di lingkungan rumah atau sekitarnya, (3) mempelajari kegunaan ekonomi di rumah,
di bengkel kerja, atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu
latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri
melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta
melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemapuannya.
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot)
adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia
tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan
diri ssendiri sangat membutuhkan lorang lain. Dengan kata lain, anak
tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan
sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan
orang lain (totally dependent) (Patton, 1991)
C. Etiologi Anak Tunagrahita
Menelaah sebab terjadinya
ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa
sejak lahir (factor endogen) dan factor dari luar seperti penyakit atau keadaan
lainnya (factor eksogen).
Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan
karena factor endogen, yaitu factor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam
memindahkan gen. sedangkan factor eksogen, yaitu factor yang terjadi akibat
perubahan patologis dari perkembangan normal.
Dari sisi pertumbuhan dan
perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport dapat dirinci melalui
jenjang berikut: (1) kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma, (2)
kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur, (3) kelainan
atau ketuanaan yang dikaitkan dengan implantasi, (4) kelainan atau ketunaan
yang timbul dalam embrio, (5) kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat
kelahiran, (6) kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin, dan (7) kelainan
atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain sebab-sebab diatas,
ketunagrahitaanpun dapat terjadi karena: (1) radang otak, (2) gangguan
fisiologis, (3) factor hereditas, dan (4) pengaruh kebudayaan (Kirk &
Johnson, 1951). Radang otak merupakan kerusakan pada area otak tertentu yang
terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya pendarahan dalam
otak. Pada kasus yang ekstrem, peradangan akibat pendarahan menyebabkan
gangguan motorik dan mental. Sebab-sebab yang pasti sekitar pendarahan yang
terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hedrocephalon misalnya, keadaan
diduga karena peradangan pada otak. Gejala yang tampak yaitu membesarnya
tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan cerebrospinal. Tekanan
yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi otak demikian pula cerebal
anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan menyebabkan otak tidak
berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cuku. Penyakit-penyakit inveksi
lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan, seperti measles, scarlet fever,
meningitis, encephalitis, diphtheria, dan cacar, dapat menjadi penyebab
terjadinya peradangan otak.
Gangguan fisiologis berasal dari
virus yang dapat menyebabkan ketunagrahitaan diantaranya rubella (campak
jerman). Virus ini sangat berbahaya dan berpengaruh sangat besar pada tri
semester pertama saat ibu mengandung, sebab akan memberi peluang timbulnya
keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandung. Selain rubella, bentuk
gangguan fisiologis lain adalah rhesus factor, mongoloid (penampakan fisik
mirip keturunan orang mongol) sebagai akibat gangguan genetik, dan cretinisme
atau kerdil sebagai akibat gangguan kelenjar tiroid.
Faktor hereditas atau keturunan
diduga sebagai penyebab terjadinya ketunagrahitaan masih sulit dipastikan
kontribusinya sebab para ahli sendiri mempunyai formulasi yang berbeda mengenai
keturunan sebagai penyebab ketunagrahitaan.
Faktor kebudayaan adalah factor yang
berkaitan dengan segenap perikehidupan lingkungan psikososial. Dalam beberapa
abad factor kebudayaan sebagai penyebab
ketunagrahitaan sempat menjadi masalah yang kontroversial. Di satu sisi, factor
kebudayaan memang mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan
psikofisik dan psikososial anak secara baik, namun apabila faktor-faktor
tersebut tidak berperan baik, tidak manutup kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan psikofisik dan psikososial anak. Contoh kasus anak idiot yang di
temukan Itard dari hutan Aveyron, ataupun anak yang ditemukan hidup diantara
serigala di India seperti yang ditulis Arnold Gesel. Walaupun anak tersebut
kemudian dirawat dan mendapatkan intervensi pendidikan secara ekstrem, ternyata
tidak mampu membuatnya menjadi manusia normal kembali.
Faktor etiologi biomedik sebagai
penyebab ketunagrahitaan menurut Kanner, yakni 6,4% akibat trauma lahir dan
anoxia prenatal, 35,61% akibat factor genetik, 6,2% akibat penyakit infeksi
prenatal, 5 % akibat infeksi otak setelah lahir, dan 2% lainnya adalah lahir
prematur. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Inggris dan beberapa
Negara lain di Amerika, prevalensi anak tunagrahita berdasarkan tingkat sosial
ekonomi dan kebudayaan tempat anak berasal. Makin tinggi kelas makin sedikit
frekuensinya, kelas dalam masyarakat tinggi diasumsikan memiliki kehidupan
social ekonomi yang tinggi pula sehingga memungkinkan layanan kesehatan
psikofisik dapat dipenuhi dengan baik, serta dapat menekan tumbuhnya kelainan
dalam kecerdasan rendah yang lebih besar (faktor eksternal).
D.
Dampak
Ketunagrahitaan
Kecerdasan
yang dimiliki seseoranag disamping menggambarkan kesanggupan secara mental seseorang
untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak
secara terarah, berfikir secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara
efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar dan berfikir secara abstrak.
Teori
kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek
tunggal, melainkan terdiri dari beberapa unsur atau kemampuan, yaitu kemampuan
yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus. Kemampuan umum yang
dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu,
sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada
bidang-bidang tertentu.
Pada
dasarnya, anak yang memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata normal atau
tunagrahita menunjukkan kecenderungan rendah pada fungsi umum kecerdasannya,
sehingga banyak hal menurut persepsi orang normal dianggap wajar terjadi akibat
dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian halnya menurut pers yang
mempunyai persepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat rendah. Hal-hal yang
dianggap wajar oleh anak normal barangkali dianggap sesuatu yang sangat
mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi karena keterbatasan
fungsi kognitif anak tunagrahita.
Fungsi
kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau memperoleh pengetahuan.
Pada anak tunagrahita, gangguan fungsi kognitifnya terjadi pada kelemahan salah
satu atau lebih dalam proses (diantara proses persepsi, ingatan, pengembangan
ide, penilaian dan penalaran). Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak
tunagrahita sama dengan anak normal namun prestasi yang diraih berbeda dengan
anak normal.
Dalam
berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita meraih prestasi
yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan ingatan anak
tunagrahita sangat lemah dibanding dengan anak normal. Maka tidak heran, jika
instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung tidak melalui proses
analisis kognitif. Akibatnya anak tunagrahita jika dihadapkan pada persoalan
yang membutuhkan proses pemanggilan kembali pengalaman atau peristiwa yang lalu
sering kali mengalami kesulitan.
Inhelder
(1968) dalam penelitiannya menemukan: (1) penyandang tunagrahita berat
perkembangan kognitifnya terhambat pada tingkat perkembangan sensomotorik, (2)
pada penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya terhenti pada
perkembangan operasional konkret (Kirk, 1970).
Perangkat
yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan seseorang dapat dilakukan
dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan, dalam hal ini yang umun
digunakan ialah Stanford-Binet dan Revise Weschler Scale for Children (WISC-R).
materinya meliputi performance test (menyusun balok, mengatur warna, menggambar
dengan kertas dan pensil, dan tes verbal/ tes perbendaharaan kata).
Kesimpulannya,
keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar
bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas pekembangannya. Beberapa hambatan
yang tampak pada anak tunagrahita dari segi kognitif dan sekaligus menjadi karakteristiknya
yaitu sebagai berikut:
1.
Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan
sukar berfikir.
2.
Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
3.
Kemampuan sosialisasinya terbatas.
4.
Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit.
5.
Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang
dihadapi.
6.
Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tinggi bidang
baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV sekolah
dasar.
E. Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa
dan bicara pada anak normal barangkali tidak banyak menemui hambatan yang
berarti, karena mereka dapat dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam
perolehan kosakata sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan
bicaranya. Hal ini dikarenakan kecerdasan sebagai salah satu aspek psikologis
mempunyai kontribusi cukup besar dalam mekanisasi fungsi kognisi terhadap
stimulasi verbal maupun nonverbal, terutama yang memiliki unsur kebahasaan.
Namun tidak demikian halnya bagi anak tunagrahita, apa yang dilakukan oleh anak
normal sulit untuk diikuti oleh anak tunagrahita. Seringkali stimulasi verbal
maupun nonverbal dari lingkungan gagal ditransfer dengan baik oleh anak
tunagrahita. Bahkan hal-hal yang tampaknya sederhana terkadang tidak mampu
dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi di
sekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tunagrahita agak berat
(mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa,
kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara. Penyertaan kelainan sekunder ini,
maka hal-hal yang tampak pada anak tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi,
disamping struktur kalimat yang disampaikannya cenderung tidak teratur, juga
dalam pengucapannya seringkali terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi
(kekacauan dalam ;pengucapan).
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa
dan bicara anak tunagrahita secara maksimal, tentunya perlu upaya dan strategi
khusus. Satu hal yang perlu dipahami bagi guru, langkah pertama sebelum
mangajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menhyebutkan
namanya. Tujuannya, disamping anak tunagrahita suka menyebutkan namanya, juga
dapat menambah motivasi belajar. Setelah itu kita dapat menggiring konsentrasi
anak dengan menyeluruh melihat satu persatu benda yang akan diperkenalkan,
serta menyebutkan namanya dengan baik dan jelas. Ketika anak tunagrahita mulai
menyebutkan nama benda yang ditunjukkan, pada saat yang sama dapat mengontrol
artikulasi bicaranya dan membetulkan jika terjadi kesalahan. Apabila penguasaan
kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan benda dilingkungan
sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil, sepeda, dan lain-lain.
Selain melalui upaya-upaya di atas,
upaya lain untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita,
yaitu model pembelajaranyang membawa anak tunagrahita dalam situasi yang wajar
dan alamiah, misalnya menyebut nama-nama benda yang kita pakai ketika anak
turut membantu pekerjaan kita, serta mengulangi beberapa kali sehingga anak
mampu memahaminya.
Beberapa model latihan pendahuluan
yang berfungsi sebagai pendukung dalam pengembangan kemampuan bahasa dan
bicaranya, antara lain sebagai berikut.
1.
Latihan pernafasan
Latihan ini dapat dilakukan dengan meniup perahu kecil
dari kertas/plastik yang diapungkan diair, meniup lilin pada jarak tertentu,
meniup kincir dari kertas sampai berputar, atau meniup gelembung balon dari
busa dan kapas ke udara.
2. Latihan otot
bicara separti lidah, bibir, dan rahang
Untuk latihan ini, anak tunagrahita
disuruh mengunyah, menelan, batuk-batuk, atau menggerakkan bibir, lidah, dan
rahangnya. Sarananya dapat menggunakan permen yang dikunyah dan
berpindah-pindah dari kanan ke kiri diletakkan diujung lidah sambil dijulurkan,
mengunyah makanan atau madu yang dioleskan disekitar bibir dan anak disuruh
membersihkan dengan lidahnya.
3.
Latihan pita suara
Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama-nama
benda yang ada disekitar dengan menggunakan kata lembaga, yaitu daftar kata yang
disusun sesuai dengan tingkat kesulitan konsonan tertentu, dapat dimasukkan
pula menirukan suara macam-macam binatang dan benda-benda lain di sekitarnya
sebagai improvisasinya, seperti suara kucing, anjing, bebek, ayam
jantan/betina, kerbau, sirine, klakson kereta api, jam welker, mobil, pesawat
terbang, dan lain-lain.
F. Penyesuaiana Sosial Anak Tunagrahita
Pada anak normal dalam melewati
setiap tahapan perkembangan social dapat berjalan seiring dengan tingkat
usianya. Namun tidak dengan demikian halnya dengan anak tuna grahita, pada
setiap tahapan perkembangan social yang dialami anak tunagrahita selalu
mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan perilaku anak
tunagrahita berada dibawah usia kalendernya, dan ketika usis 5-6 tahun mereka
belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979).
Beberapa studi menunjukkan bahwa
terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada hubungannya dengan taraf
kecerdasannya yang sangat rendah.
Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang social
umumnya terjadi karena hal-hal berikut:
1.
Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak
tunagrahita untuk melakukan sosialisasi.
2.
Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi.
3.
Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Sebagai makhluk individu dan social, anak tunagrahita mempunyai hasrat
untuk memenuhi segala kebutuhan sebagaimana layaknya anak normal lainnya,
tetapi upaya anak tunagrahita lebih sering mengalami kegagalan atau hambatan
berarti. Akibatnya anak tunagrahita mudah frustasi, dari perasaan frustasi
tersebut pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari
mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian social yang salah
(maladjusted).
Perilaku orang lain yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita atau lemahnya
konsentrasi anak tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak
tunagrahita mudah dipengaruhi untuk berbuat hal-hal yang jelek. Demikian juga
rendahnya tingkat kematangan emosi dan kesukaran anak tunagrahita untuk
memahami aturan atau norma yang ada dilingkungannya, merupakan unsur-unsur yang
dapat menyuburkan tumbuhnya penyimpangan perilaku bagi anak tunagrahita.
Oleh karena itu untuk membantu anak tunagrahita agar dapat mencapai
penyesuaian social dengan baik, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu
1.
kurikulum sekolah harus memperhatikan kebutuhan anak
tunagrahita
2.
kondisi sekitar lingkungan harus kondusif
3.
pemenuhan kebutuhan dasar anak tunagrahita
4.
bimbingan dan latihan kerja
Terlepas dari upaya-upaya tersebut diatas, dalam rangka membantu anak
tunagrahita mencapai penyesuaian yang akurat, peranan orang tua atau keluarga
memiliki sumbangan terbesar. Dalam hal ini bagaimana pun baiknya program
sekolah yang direncanakan untuk anak tunagrahita, jika tidak dibarengi dengan
tindakan dan sikap orang tua/ keluarga secara konstruktif dan edukatif
barangkali tidak banyak artinya.
G. Modifikasi Tingkahlaku Anak Tunagrahita
Jenis terapi perilaku lain yang
dapat dilakukan untuk anak tunagrahita, yaitu melalui kegiatan bermain
(kegiatan fisik/ atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh).
Freud berpandangan bahwa bermain merupakan cara seseorang untuk membebaskan diri
dari berbagai tekanan yang kompleks, merugikan. Melalui kegiatan bermain
perasaan menjadi lega, bebas, dan berarti. Mengingat urgensinya bermain bagi
anak tunagrahita dewasa ini aktivitas bermain berkembang menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan
bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan tetapi permainan yang memiliki
muatan antara lain: (1) setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang
berbeda, (2) sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna
anak tunagrahita (Prasedio, 1976). Beberapa nilai yang penting dari bermain
bagi perkembangan anak tunagrahita, antara lain sebagai berikut.
1.
Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernafasan,
pertukaran zat, peredaran darah dan pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan
melalui kegiatan bermain, baik bantuan pada satu aspek fungsi fisik maupun
lebih.
2.
Pengembangan sensomotorik, melalui bermain melatih
pengindraan (sensoris) seperti ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan
atau penciuman, disamping melatih otot dan kemampuan gerak, seperti tangan,
kaki, leher, dan gerak tubuh lainnya.
3.
Pengembangan daya khayal, melalui bermain, anak
tunagrahita diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai
sarana yang diperlukan untuk pengembagan daya khayal dan kreasinya.
4.
Pembinaan pribadi, dalam bermain anak pun sebenarnya
berlatih memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan,
ketekunan, percaya diri, dan lainnya.
5.
Pengembangan sosialisasi, ada unsure yang menarik
yaitu anak harus berbesar hati menunggu giliran, rela menerima kekalahan, setia
dan jujur.
6.
Pengembangan intelektual, melalui bermain anak
tunagrahita belajar mencerna sesuatu. Contohnya, peraturan dan skor yang
diperoleh dalam permainan. Teknisnya, misal dalam setiap langkah yang harus
dilakukan dalam permainan, ada kesempatan bagi anak tunagrahita untuk
mengaktualisasikan kemampuannya melalui ucapan atas apa yang dilihat dan
didengar tentang permaianan yang dilakukan. Secara tidak langsung cara ini
sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan intelektual anak tunagrahita.
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan kecerdasan dan
motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain sebagai berikut.
1.
Latihan menuangkan air, pertama-tama anak diberi
latihan menuang air dengan jumlah sedikit melalui contoh yang diberikan.
Semakin teratur dan tanpa tetesan dalam menuangkan air, maka semakin baik
kemampuannya.
2.
Bermain pasir, botol dan panci sebagai tempat menuang
air, dan pasir yang telah dituangkan ke botol dan panci tersebut dituangkan
kembali ke ember. Bermain pasir seperti ini dapat pula menggunakan pasir basah,
anak tunagrahita diajak berkhayal untuk mencetak benda-benda yang diinginkan
seperti kue, bangunan, gedung, gunung, dan lain sebagainya.
3.
Bermaian tanah liat, barangkali kegiatan yang
dilakukan hanya mengepal-ngepal saja. Namun apabila diberikan bimbingan dan
latihan, kegiatan tersebut dapat diarahkan membentuk benda-benda disekitarnya,
seperti boneka, asbak dan lainnya. Setelah selesai dan dikeringkan dapat dapat
dicat dengan barbagai warna agar menarik perhatiannya dan timbul motivasi untuk
berbuat lagi yang lebih baik.
4.
Latihan melipat, latihan ini diawali dengan dua
lipatan, empat lipatan dan seterusnya dengan berbagai kombinasi batas kemampuan
anak.
5.
Mengelem dan menempel, pertama-tama yaitu dengan
menggunakan telunjuk jari unruk mengelem dan mengulasnya agar tidak terjadi
kecerobohan. Untuk dapat lebih melekat, taruhlah secarik kertas atau kain
diatasnya dan tekan. Apabila anak mampu mengerjakan dengan baik dan rapi,
berilah pujian sebagai tanda penghargaan jerih payahnya.
6.
Menggunting dan
memotong, dapat diawali dengan menggunting bentuk sembarang, kemudian
menggunting dengan cara yang lurus dan dilanjutkan dengan menggunting dengan
garis-garis melengkung.
7.
Jarum dan
benang, untuk kepentingan tersebut dibutuhkan semacam alat bordir yang
mula-mula harus ditusuk-tusukkan. Selanjutnya anak dapat dilatih menggunakan
kain strimin yang kasar atau kain wol yang tebal dan sederhana. Dengan
menggunakan jarus dan benang, anak tunagrahita dapat membuat hiasan dinding,
alas baki, tas dan sebagainya
Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemampuan anak
tunagrahita yaitu bermain yang mengandung unsur olahraga. Misalnya berjalan
diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban dikepala melewati titian
garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yang
menggunakan alat, misalnya menbribel bola, menendang bola, melempar dan
menangkap bola, berlari memindahkan bendera, dan lain-lain.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak
tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional,
pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanaya. Misalnya bermain menjala ikan,
lempar dan tangkap bola, memuluk bola disela-sela kaki, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Anak
tunagrahita yaitu anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian
rendahnya sehingga untuk meniti tugas perkembangannya, indikasinya dapat
dilihat pada angka tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ
25-50 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75 kategori debil atau moron. Ketunagrahitaan disebabkan
karena faktor endogen dan faktor eksogen. Keterlambatan perkembangan kognitif
pada anak tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti
tugas perkembangannya. Maka butuh pengembangan kemampuan bahasa dan bicara dan
membantu penyesuaian sosial anak tunagarahita serta modifikasi tingkalaku agar
mampu mengembangkan intelektualnya.
A.
Saran
Anak tunagrahita memang memiliki
kemampuan yang rendah dibandingkan
dengan anak normal lainnya, maka perlu adanya perhatian khusus terhadap
mereka untuk dilatih, dibimbing, dan diberi kesempatan serta dukungan agar mereka
mampu mengembangkan seluruh potensinya agar dapat mandiri dan memiliki harga
diri dihadapan orang lain disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar